Sabtu, 15 Desember 2012

Jakarta, Rasa syukur yang diungkapkan dengan kata terima kasih, ternyata tidak hanya sekedar ucapan saja karena manfaatnya terbukti luar biasa. Orang yang banyak bersyukur memiliki psikososial yang lebih kuat dan hal ini juga berpengaruh terhadap fisik yang sehat.

Para peneliti di University of Texas Health Science Center mempercayai bahwa rasa syukur benar-benar memiliki manfaat fisik dan psikososial yang menakjubkan. Hal sederhana seperti berterima kasih ternyata memiliki efek yang luar biasa bagi tubuh.

Hasil penelitian telah menemukan bahwa orientasi rasa syukur akan menempatkan seseorang terhadap:

1. Mendorong tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi, vitalitas,antusiasme, perhatian tekad, dan energi
2. Mengurangi gejala fisik seperti sakit kepala, batuk, mual atau sakit
3. Meningkatkan kekebalan tubuh baik pada orang yang sakit atau sehat
4. Menurunkan respons stres dan tekanan darah
5. Meredakan depresi dan kecemasan
6. Meredam kemarahan dan mengurangi kebencian
7. Memupuk kasih sayang dan empati
8. Meningkatkan hubungan sosial yang positif

Robert A. Emmons, Ph.D., dari University of California Davis, bersama dengan rekannya Mike McCullough dari University of Miami, melakukan percobaan di mana peserta penelitian diberi salah satu dari tiga tugas. Peserta juga diminta mengisi sebuah jurnal mingguan untuk mencatat segala hal yang dirasakannya seperti rasa syukur, stres, frustrasi atau keadaan netral yang tidak positif atau negatif sekalipun.

Setelah 10 minggu, orang-orang yang lebih banyak bersyukur merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya dibandingkan kelompok yang lebih banyak merasakan frustrasi. Kelompok syukur juga memiliki keluhan kesehatan yang lebih sedikit dan mampu berolahraga lebih lama hingga 1,5 jam.

Studi lain menemukan bahwa individu dengan gangguan saraf atau neuromuscular disorders (NMDs) juga memperoleh manfaat dari rasa syukur. Bagi orang yang menyimpan jurnal rasa syukur, mengalami peningkatan kualitas tidur dan bangun dengan lebih segar.

Bahkan orang yang selalu bersyukur selalu optimis menatap hari-hari yang akan datang dan dapat membangun koneksi dengan lebih luas dibandingkan peserta lain dalam penelitian. Tetapi tidak semua orang
dapat membangun kebiasaan bersyukur dengan mudah, sehingga hal ini perlu dilatih.

Berikut adalah beberapa saran untuk membangun kebiasaan bersyukur, seperti dikutip dari naturalnews, Sabtu (15/12/2012) antara lain:

1. Buatlah jurnal rasa syukur setiap hari
2. Hargai alam, makanan yang Anda makan atau obyek keindahan
3. Tuliskan secara rinci ungkapan rasa terima kasih
4. Hitung nikmat yang Anda dapatkan setiap hari
5. Fokus pada rasa syukur beberapa saat ketika berdoa
6. Berikan pujian yang tulus untuk anggota keluarga, rekan kerja, atau teman

Jangan lupa untuk bersyukur setiap hari karena tanpa rasa syukur, Anda akan kehilangan manfaat kesehatan yang sangat besar!

SUMBER :
http://health.detik.com/read/2012/12/15/143201/2119429/766/pandai-pandailah-bersyukur-agar-sehat-lahir-batin?l992205755
JAKARTA--MICOM: Orang yang merasa sendiri dan kesepian berisiko tinggi mengalami demensia.

Demikian kesimpulan peneliti Pusat Kesehatan Mental Arkin, Amsterdam, Belanda, setelah melakukan pengamatan terhadap 2.200 partisipan berusia 65-86 tahun.

Demensia adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sindrom penurunan fungsional kemampuan otak.

Dalam laporan yang dipublikasi lewat jurnal Neurology Neurosurgery and Psychiatry, peneliti menyatakan partisipan yang merasa kesepian lebih tinggi berisiko demensia.

Pada akhir pengamatan, peneliti menemukan bahwa 13,4% dari partisipan yang mengalami demensia ialah mereka yang merasa sendiri dan kesepian.

Sedangkan partisipan yang sebaliknya justru hanya 5,7% yang mengalami demensia. Dengan kata lain, orang yang merasa kesepian beresiko hingga 1,64 kali lebih tinggi menderita demensia.

Peneliti memperkirakan hal tersebut terjadi karena minimnya stimulus yang merangsang kerja otak untuk berpikir.

SUMBER :
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/12/12/369589/291/7/Kesepian-Bisa-Picu-Penurunan-Fungsi-Otak
JAKARTA--MICOM: Popularitas pangan organik meningkat seiring dengan embel-embel kesehatan yang melekat. Tak heran jika banyak orang yang beralih ke pangan organik untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Namun, apa kata para ahli? Menurut ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor Ali Khomsan, istilah organik kini digunakan secara terbatas untuk produk-produk tanaman yang hanya sedikit/tidak menggunakan pestisida dan pupuk buatan.

Pertanian organik lebih sering dikaitkan dengan pupuk kandang, kompos dan pestisida alami. Merujuk pada peraturan Departemen Pertanian Amerika Serikat, pangan yang dijual di pasaran boleh mengklaim diproduksi secara organik apabila sedikitnya 50% bahan penyusunnya diproduksi secara organik.

Sedangkan, untuk pangan kemasan dipersyaratkan 95% bahannya dihasilkan melalui pertanian organik. Pangan kemasan itu juga tidak boleh mengandung nitrat, nitrit dan sulfit. "Peraturan-peraturan tersebut belum seketat itu diterapkan di Asia," ujar Ali.

Meski semakin populer, Ali menyatakan belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa pangan yang dihasilkan dari pertanian organik itu lebih sehat, lebih bergizi dan lebih aman.

Mengutip pernyataan beberapa pakar lainnya, ia mengatakan jika pangan organik mempunyai kandungan gizi dan tingkat keamanan pangan yang relatif sama dengan pangan konvensional lainnya.

"Malah ada yang mengkhawatirkan dari penggunaan pupuk kandang, yakni kemungkinan kontaminasi bakteri yang mungkin terjadi pada produk pangan organik. Sebuah penelitian di University of Georgia menunjukkan bahwa pangan organik sedikit lebih besar peluangnya untuk tercemar E.coli, bakteri yang sering menyebabkan sakit perut,” terangnya.

Dengan fakta tersebut, Ali menyatakan bahwa keuntungan paling utama mengonsumsi bahan pangan organik adalah ramah terhadap lingkungan. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang merusak lingkungan bisa ditanggulangi.

Namun, jika petani menggunakan pestisida dan pupuk secara terkontrol, proses produksi yang dilakukan tetap akan ramah terhadap lingkungan. Hal ini yang sering luput dari perhatian petani yang berasal dari negara-negara berkembang, seperti Indonesia.

Jika demikian, konsumsi bahan pangan konvensional pada dasarnya tetap berdampak baik pada kesehatan. Residu pestisida yang tertinggal pada bahan pangan nonorganik itu bisa ditangani jika dibersihkan dengan baik sebelum diolah dan dikonsumsi. Meski demikian, pilihan akhir tetap berada di tangan konsumen.

"Kalau toh pangan organik tidak lebih bergizi dan tidak lebih aman daripada pangan konvensional, tetapi mungkin ada di antara mereka yang merasakan bahwa pangan organik lebih enak. Atau mereka ingin menunjukkan kepada lingkungan sekitarnya tentang gaya hidup baru dengan hanya mengkonsumsi pangan organik," tukasnya. (Din/OL-9)

SUMBER : 
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/12/14/369832/291/7/Bahaya-di-Balik-Pangan-Organik